Oleh: piiriau | September 24, 2007

Optimalisasi CSR untuk Pengembangan Desa Mandiri Energ

Afrizal

Teknik Kimia Universitas Riau, FAM PII Riau

Pendahuluan

Pembangunan berkelanjutan dan kebutuhan akan energi merupakan sebuah isu global baik isu konsumsi energi yang berkaitan dengan kebutuhan manusia dalam menjaga kelangsungan hidupanya maupun berkaitan dengan keterbatasan sumber daya alam dan efek dari penggunaan sumber energi tersebut. Berbagai kebijakan dan terobosan yang dilakukan untuk menjaga keseimbangan keseimbangan energi. “Program biofuel” yang merupakan sebuah program nasional yang memberikan harapan cerah untuk bisa membawa bangsa ini keluar dari ancaman krisis bahan baker minyak dan ketergantungan pada bahan baker fosil yang kia menipis dan mahal. Penjabaran dari program biofuel tersebut salah satunya adalah pengembangan “Desa Mandiri Energi”.

Kesadaran perusahaan melaksanakan program sosial atau Coorporate Social Responsibility (CSR) yang menunjukkan kemajuan. Dengan harapan program ini diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar perusahaan untuk mengatasi kemiskinan. Dengann adanya program ini diharapkan mampu secara konsisten dalam mendorong program “desa mandiri energi” yang dianggap mampu mengatasi kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja (pro-job creation) dan menyelamatkan lahan kritis menjadi lahan produktif.

Desa mandiri energi

Desa mandiri energi adalah desa yang dapat memproduksi sendiri kebutuhan energinya dan tidak lagi bergantung dari pihak yang lain. Sasaran utama program desa mandiri energi adalah wilayah pedesaan dan wilayah yang terisolir. Fokus pengembangan desa mandiri energi adalah pengembangan bahan bakar nabati (BBN) dalam skala kecil sesuai dengan potensi daerah.

Di Indonesia tersedia lahan yang cukup luas untuk pelaksanaan proram ini yakni seluas 14,277 hektare. Lahan tersebut tersedia di hampir seluruh propinsi kecuali Bengkulu dan DKI Jakarta. Jumlah lahan terbesar terdapat di tujuh propinsi yaitu Kalimantan Timur, Sulawesi tenggara, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Lampung, Papua dan Irian Jaya barat. Pada wilayah tersebut banyak perusahaan besar BUMN, swasta nasional dan Multi Nasional.

Prinsip yang dipakai dalam pengembangan desa mandiri energi ini adalah tidak mengkonversi lahan untuk tanaman pangan terutama tanaman pangan untuk kebutuhan pokok. Selain itu juga tidak menggugat keberadaan tanaman produktif yang sudah menjadi andalan masyarakat sebagai mata pencahariannya. Program Desa mandiri energi harus menjadi bagian solusi masalah pedesaan dan menambah kesejahteraan warga bukan menciptakan masalah baru misalnya rawan pangan.

Pembangunan Milenium

Program CSR bisa diarahkan kepada upaya pencapaian komitmen Indonesia untuk mencapai sasaran Tujuan Pembangunan Abad Milenium (MDGs). Pemberdayaan masyarakat menjadi langkah yang mutlak untuk mempercepat upaya pencapaian MDGs (Sembiring, 2007). Pengembangan Desa mandiri energi adalah salah satu penjabaran dari sasaran MDGs dengan harapan terbentuknya sebuah desa yang mampu mandiri energi tanpa bantuan dari pihak manapun.

Di Indonesia sektor migas, tambang, dan manufaktur paling banyak bersinggungan dengan persoalan lingkungan dan kemiskinan masyarakat sekitar perusahaan berpotensi menimbulkan konflik. Diharapkan peran perusahaan yang beroperasi berperan memberdayakan masyarakat sekitar, sehingga potensi maksimal dari pemanfaatan kekayaan alam Indonesia dapat dinikmati secara bersama sesuai dengan UUD 1945.

CSR sebagai Investasi Sosial

Ketika suatu perusahaan melakukan kegiatan usaha, apapun jenis dan bentuknya, beroperasi disuatu daerah, masyarakat sekitarnya berhak dan harus bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Bagi masyarakat, perusahaan adalah tamu, sedangkan mereka adalah tuan rumah. Sebagai tuan rumah mereka berhak atas sumber daya alam yang ada. Maka, jika ada yang melakukan kegiatan usaha mereka ingin dan merasa berhak bahkan wajib untuk dilibatkan.

Bersama masyarakat perusahaan bisa membentuk komite pemberdayaan masyarakat yang dikelola secara mandiri. Perusahaan melalui public relations memfasilitasi masyarakat untuk mengelola program pemberdayaan masyarakat. Program ini diarahkan kepada dua bidang utama yaitu bidang pendidikan dan ekonomi. Pada program pendidikan akan melahirkan putra daerah yang terdidik dan memiliki skill yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Disamping itu dalam pengembangan desa mandiri energi dengan adanya putra daerah yang terdidik ini bisa menterjemahkan program ini secara sederhana dan berkelanjutan.

Program pendidikan merupakan program jangka panjang CSR, program jangka pendek adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok usaha yang berorientasi pada pemberdayaan sumber daya manusia berbasis sumber daya alam. Misalnya jika daerahnya berdekatan dengan pesisir laut maka potensi ekonomi yang dikembangkan adalah pengelolaan sumber daya pesisir beserta turunannya.

Optimalisasi peran CSR ini mengharapkan adanya integrasi antara bisnis dengan masyarakat. Dengan adanya integrasi ini harapan desa mandiri energi yang pro poor sesuai dengan fast track pengembangan percepatan pengembangan bahan bakar nabati (BBN) yakni pengembangan desa mandiri energi, pengembangan BBN sesuai dengan potensi daerah dan special biofuel zone. Sehingga program CSR ini dalam jangka pendek bisa menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Perlu Kebijakan Pemerintah

Pemerintah memiliki peranan dan tanggung jawab besar untuk mendukung dan menyukseskan program CSR ini. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut, misalnya dengan memberikan bantuan fasilitas maupun membuat kebijakan untuk memudahkan pelaksanaan. Kebijakan tersebut berupa dorongan lebih jauh untuk bisa terpadu dengan program besar pemerintah untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, krisis energi dan permasalahan lainnya.

Kebijakan dari pemerintah ini hendaknya berupa paying hukum yang mengatur berapa dari persen laba perusahaan yang bisa diberikan untuk kewajiban sosial ini. Menurut bachtiar chamsyah idealnya kucuran dana CSR ini bisa 3-4 persen dari laba perusahaan (2007). Pemerintah juga bisa mengajak perguruan tinggi yang ada di masing-masing daerah untuk berbagi pengetahuan dalam rangka pelaksanaan program CSR ini khususnya pada pengembangan Desa Mandiri energi.

Selain mendukung program pemerintah juga harus menjadi pengawas terhadap program ini. Sebagai pengawas pemerintah berhak memberi kritik dan saran terhadap pelaksanaan program ini. Oleh sebab itu pemerrintah harus menerapkan asas reward and punishment dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Ketika program berhasil sesuai dengan tujuan maka pemerintah perlu memberikan reward. Sebaliknya jika program kurang berhasil harus diberikan punishment.

CSR harus dipandang sebagai bagian dari investasi bukan sekedar derma (charity) semata. Karena merupakan investasi maka pihak yang melakukan program CSR ini juga harus mendapatkan imbalan atas investasinya berupa adanya jaminan pasar melalui model kemitraan [3]. Melalui model ini diharapkan terpenuhinya tenaga kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan juga berupa dukungan sosial untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif untuk operasional perusahaan.

Oleh: piiriau | Agustus 31, 2007

BIOFUEL MASIH MENJANJIKAN

BY afrizal

Energi berkaitan langsung dengan pertumbuhan Poduk Domestic Bruto (PDB) suatu negara indikatornya kita kenal dengan koefisien elastisitas penggunaan energi. Untuk negara indonesia koefisien elastisitas penggunaan energi adalah 1,84 %. Ini artinya untuk meningkatkan PDB 1% maka energi yang diperlukan harus naik 1,84%. Dengan angka penggunaan energi sebesar ini maka Indonesia dikatakan sebagai negara yang paling boros dalam penggunaan energi jika dibandingkan dengan negara lain apalagi dengan negara maju. Sumber energi utama di Indonesia berasal dari minyak bumi. Sektor yang berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah sektor pertanian, industri, dan transportasi yang setiap tahunnya mendapat subsidi dari pemerintah. Pada sektor tersebut biasanya menggunakan sumber energi berasal dari bahan bakar minyak (BBM) yaitu minyak diesel.

Sejak menjadi negara pengimpor minyak bumi pada tahun 2005 maka subsidi untuk bahan bakar minyak semakin membebani pemerintah Indonesia. Jika selama ini bahan bakar minyak menjadi sumber pemasukan bagi negara maka sejak tahun 2005 malah menjadi sumber pengeluaran utama bagi negara. Hampir sepertiga dari kebutuhan minyak bumi di negara ini harus di impor dari luar negeri, produksi minyak bumi Indonesia 1 juta barel perhari sedangkan kebutuhannya 1,3 juta barel perhari. Melihat keadaan seperti ini maka pemerintah mulai melirik sumber energi alternatif yang mampu menyumbang devisa bagi negara. Sumber energi yang mulai di lirik adalah gas alam, batu bara, panas bumi, energi sinar matahari, energi samudra hingga bahan bakar nabati (BBN).

Bahan bakar nabati mendapat perhatian dari pemerintah karena di Indonesia tersedia cukup untuk keperluan ekspor dan dalam negeri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BPPT sumber bahan bakar nabati yang ada di Indonesia cukup banyak yaitu 30 jenis tanaman. Di antara 30 jenis tanaman tersebut yang paling memungkin di pakai sebagai sumber bahan bakar nabati ada dua jenis tanaman yang layak dikembangkan ditinjau dari aspek teknis dan aspek ekonomi yaitu kelapa sawit (Palm Oil) dan jarak pagar (Curcas Jatropa).

Kedua jenis tanaman ini sangat familiar bagi masyarakat Indonesia karena tanaman sawit merupakan penghasil minyak mentah sawit yang kita kenal dengan Crude Palm Oil atau CPO. Tanaman jarak pagar sudah dikenal sejak zaman penjajahan Jepang yang digunakan sebagai minyak pelumas untuk mesin perang tentara Jepang Pada Perang dunia ke-2 dan minyak mentah yang dihasilkan oleh minyak jarak dikenal dengan nama Curcas Jatropa Oil atau CJO. Bahan bakar nabati yang diolah dari kedua tanaman ini kita kenal dengan biodiesel.

Bahan bakar biodiesel sesuai namanya di pakai sebagai pengganti atau campuran minyak yang digunakan untuk mesin diesel. Biodiesel ini memang bukan 100 % tapi campurannya terdiri dari 70 % minyak solar dan 30 persen dari Fatty Acid Metyl Ester atau yang lebih dikenal dengan nama FAME. FAME merupakan produk turunan dari CPO dan CJO lewat reaksi trans-esterifikasi. Untuk biodiesel dari minyak jarak Indonesia pantas bersyukur karena satu-satunya negara di dunia yang mampu membuat biodiesel dengan komposisi 100 persen dari minyak jarak.

Walaupun cuma 30 persen tapi produksi biodiesel berbahan baku dari kelapa sawit lebih menjanjikan dari tanaman jarak karena ketersediaan sawit lebih banyak, harga minyak sawit agak stabil di pasaran dunia, selain itu minyak sawit dijadikan sebagai komiditas makanan. Hal tersebut belum berlaku bagi tanaman jarak karena belum teruji dalam komersil dan masih dalam percobaan. Maka untuk strategi jangka pendek dan menengah digunakan CPO sebagai bahan baku untuk biodiesel.

Jika biodiesel diproduksi dari CPO maka akan mengganggu pasokan untuk keperluan industri lain yang berbasiskan CPO misalnya industri minyak goreng, margarin, surfaktan, industri kertas, industri polimer dan industri kosmetik. Selain itu kapasitas pabrik yang dibangun harus dalam skala besar dan harus terintegrasi dengan industri CPO. Skala yang ideal yang minimum untuk pembangunan biodiesel dengan berbahan baku biodiesel adalah 100 ribu ton per tahun dengan laju pengembalian modal sekitar 6 tahun. Angka ini akan sulit terealisasi mengingat industri lain juga membutuhkan CPO dalam jumlah yang besar.

Tantangan yang lain bagi pengembangan industri biodiesel adalah harga CPO dan bahan baku pendukung lainnya cenderung naik, harus bersaing dengan BBM konvensional yang sewaktu-waktu harganya bisa jatuh. Karena harga BBM konvensional tergantung pada situasi politik di Timur Tengah, jika kondisi politik di Timur Tengah telah stabil maka harga minyak akan jatuh kembali. Mengingat krisis seperti ini pernah terjadi pada dekade 70-an terjadi embargo minyak bumi. Selain itu adanya persaingan dengan penghasil biodiesel utama di Eropa yaitu negara Jerman dengan kapasitas produksi 2 juta ton pertahun. Sebagian besar paten proses pengolahan biodiesel di pegang oleh negara Jerman. Melihat kondisi seperti ini perlu dilakukan inovasi untuk pengolahan biodiesel. Maka alternatif yang dipakai untuk pembuatan biodiesel adalah menggunakan limbah dari produksi CPO atau yang lebih dikenal dengan nama CPO parit.

Pada tahun 2005 Indonesia punya 360 pabrik CPO dengan produksi 11,6 juta ton dan dihasilkan limbah cair sebanyak 0,355 juta ton. Limbah cair kelapa sawit memiliki BOD sebesar 25.000 mg/l, COD sebesar 50.000 mg/l dan pH 4,2 (bersifat asam) limbah ini akan menimbulkan masalah bagi lingkungan hidup jika dibuang secara langsung. Menurut Kementrian Lingkungan Hidup batasan limbah yang dibuang ke alam adalah 100 mg/l untuk BOD, 350 mg/l untuk COD dan kisaran pH sebesar 6 – 9. Jika limbah cair ini dimanfaatkan untuk keperluan produksi biodiesel dengan perkiraan hilang sebesar 10% maka kemungkinan FAME yang akan dihasilkan sebesar 0,320 juta ton yang bisa diolah menjadi 7,093 juta liter biodiesel/tahun.

Kelebihan pembuatan biodiesel dengan bahan baku limbah cair CPO adalah sebagai berikut:

1. Meniadakan pencemaran limbah terhadap pencemaran air tanah dan sunagai.

2. Transfer Pricing karena penggunaan biodiesl berbahan baku ini akan menekan pokok produksi CPO. Harga solar untuk keperluan industri per 1 Juli 2006 Rp 6.321,22 – Rp 6.595,70 per liter (berdasarkan suplai point). Apabila Pabrik CPO menggunakan Biodisel berbahan baku ini, maka biaya yang dikeluarkan hanya Rp. 4.785,00 perliter (harga standar yang dibuatkan untuk biodiesel mutu standar) harga ini dapat ditekan lagi karena CPO parit hanya Rp.300,00 perliter. Harga ini dapat ditekan lagi jika terjadi kontrak tetap dengan pabrik CPO yang ada karena akan dapat terbantu terhadap solusi limbah cair yang di hasilkan.

3. Memperoleh CDM (clean development mechnism).

4. Bisa di bangun terintegrasi dengan pabrik CPO karena berfungsi sebagai pengolah limbah.

Propinsi Riau merupakan daerah penghasil CPO terbesar di Indonesia yaitu dengan produksi 3,3 juta ton pertahun atau hampir 30 persen dari total produksi sawit Indonesia. Dengan angka produksi sebesar ini maka CPO parit yang dihasilkan adalah 0.1065 juta ton atau 106,5 ribu ton. Jika dibangun pabrik biodiesel dengan menggunakan CPO parit di Riau dan terintegrasi dengan pabrik CPO maka akan mengurangi angka pengangguran. Mengingat pabrik CPO di Riau berjumlah 118 buah, jika di asumsikan satu pabrik biodiesel menyerap tenaga kerja 20 orang maka jumlah tenaga kerja yang terserap adalah 2.360 orang. Sebuah peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan bisa memininalisir angka kemiskinan di Riau. Maka ada satu pertanyaan yang muncul, Adakah minat kita untuk mengembangkannya???

Oleh: piiriau | Agustus 31, 2007

Halo dunia!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Kategori